Ditulis Oleh : M.Ikhsan Prajarani (aktivis serikat pekerja)
Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan
Dasar Hukum Ketenagakerjaan
merupakan alat untuk memberi perlindungan terhadap para tenaga kerja,
yang menyangkut hubungan antara buruh dan majikan, upah, perselisihan yang akan
mengakibatkan gejolak sosial. Hukum perburuhan ialah suatu bagian dari hukum
yang berlaku, pada pokoknya mengatur hubungan buruh dan buruh, buruh dan
pengusaha. Menurut Mr.Molenar, Hukum perburuhan adalah hubungan kerja dimana
pekerjaan itu dilakukan dibawah suatu pimpinan dengan penghidupan langsung
bersangkut paut dengan hubungan tenaga kerja (menurut Mr.M.G Lavenbach).
Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dinyatakan
bahwa hukum ketenagakerjaan adalah
kumpulan peraturan tentang segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada
waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Secara yuridis, buruh adalah
memang bebas oleh karena prinsip Negara kita menyatakan bahwa tidak seorangpun
diperbudak atau diperhamba.
Tujuan pokok hukum perburuhan adalah pelaksanaan keadilan sosial dalam
perburuhan dan pelaksanaan itu diselenggarakan dengan jalan melindungi buruh
terhadap kekuasaan melindungi buruh terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari
pihak majikan. Subjek hukum perburuhan adalah orang yang terdiri buruh dan
majikan. Organisasi yang bergerak di bidang perburuhan contohnya adalah Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) dan
serikat buruh sedunia ILO (International
Labour Organitation). Untuk para buruh/pekerja sekarang telah dilindungi
dengan JAMSOSTEK.
Sifat
Hukum Perburuhan
Tujuan pokok hukum perburuhan adalah melaksanakan
keadilan sosial dalam perburuhan dengan melindungi buruh terhadap kekuasaan
yang tidak terbatas dari pihak majikan bertindak sesuai dengan kemanusiaan.
Buruh dan majikan diberi kebebasan untuk mengadakan peraturan tertentu karena
hukum perburuhan bersifat otonomi tetapi peraturan ini tidak boleh bertentangan
dengan peraturan pemerintah yang bermaksud mengadakan perlindungan terhadap
buruh. Sanksi atas pelanggaran ini diancam dengan pidana kurungan atau denda.
Sumber dan Subjek Hukum
Perburuhan
Sumber hukum ketenagakerjaan ialah:
1. Sumber Hukum
ketenagakerjaan dalam artian materiil (tempat dari mana
materi hukum itu diambil). Yang dimaksud dengan sumber hukum materiil atau lazim disebut sumber isi hukum ialah kesadaran hukum masyarakat yakni kesadaran hukum yang ada dalam masyarakat mengenai sesuatu yang seyogyanya atau seharusnya. Profesor Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum (Sudikno Mertokusumo, 1988:63). Sumber Hukum Materiil Hukum Ketenagakerjaan ialah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dimana setiap pembentukan peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan harus merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila.
materi hukum itu diambil). Yang dimaksud dengan sumber hukum materiil atau lazim disebut sumber isi hukum ialah kesadaran hukum masyarakat yakni kesadaran hukum yang ada dalam masyarakat mengenai sesuatu yang seyogyanya atau seharusnya. Profesor Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum (Sudikno Mertokusumo, 1988:63). Sumber Hukum Materiil Hukum Ketenagakerjaan ialah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dimana setiap pembentukan peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan harus merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila.
2. Sumber Hukum Perburuhan
dalam artian formil (tempat atau sumber dari mana suatu peraturan itu
memperoleh kekuatan hukum). Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber
dimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. (Sudikno Mertokusumo, 1988:63).
Sumber formil hukum perburuhan yaitu:
a. Undang-undang merupakan peraturan yang dibuat oleh
Pemerintah dengan persetujuan DPR. Berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 45 maka beberapa peraturan yang lama yang masih berlaku karena
dalam kenyataan belum banyak peraturan yang dibuat setelah kemerdekaan yaitu:
1) Wet
2)
Algmeen Maatregalvan
Bestuur
3)
Ordonantie-ordonantie
4)
Regeeringsverordening
5)
Regeeringbesluit
6) Hoofdvanafdeling
van arbeid. (Imam Soepomo,1972:21-22)
Setelah Indonesia merdeka ada hal yang perlu
dicatat bahwa politik hukum kodifikasi sudah ditinggalkan diganti dengan
politik hukum yang mengacu pada unifikasi hukum. (Abdul Rahman Budiyono,
1995:14)
b. Peraturan lainnya:
1) Peraturan Pemerintah yaitu
Aturan yang dibuat untuk melaksanakan UU.
2) Keputusan Presiden yaitu Keputusan yang bersifat khusus (einmalig) untuk
melaksanakan peraturan yang ada di atasnya.
melaksanakan peraturan yang ada di atasnya.
3) Peraturan atau keputusan
instansi lainnya.
c. Kebiasaan
Paham
yang menyatakan bahwa satu-satunya sumber hukum hanyalah undang-undang, sudah
banyak yang ditinggalkan sebab kenyataannya tidak mungkin mengatur kehidupan
bermasyarakat yang begitu komplek dalam suatu undang-undang. Disamping itu
undang-undang yang bersifat statis itu mengikuti perubahan kehidupan masyarakat
yang begitu cepat.
Kebiasaan
merupakan kebiasaan manusia yang dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama
dan diterima oleh masyarakat, sehingga bilamana ada tindakan yang dirasakan berlawanan
dengan kebiasaan tersebut dianggap pelanggaran perasaan hukum. Berkembangnya
hukum kebiasaan dalam bidang ketenagakerjaan disebabkan beberapa hal antara
lain:
1) Perkembangan masalah-masalah perburuhan jauh lebih
cepat dari
perundang-undangan yang ada.
perundang-undangan yang ada.
2) Banyak peraturan yang
dibuat jaman Hindia Belanda yang sudah tidak
sesuai lagi dengan keadaan ketenagakerjaan sesudah Indonesia merdeka.(Abdul Rahman Budiyono,1995:15).
sesuai lagi dengan keadaan ketenagakerjaan sesudah Indonesia merdeka.(Abdul Rahman Budiyono,1995:15).
Putusan
Putusan
disini adalah putusan yang dikeluarkan
oleh sebuah panitia yang menangani sengketa-sengketa perburuhan yaitu: 1)
Putusan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat), 2) Putusan
P4D ( Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah). Panitia
penyelesaian perburuhan sebagai suatu compulsory arbitration (arbitrase wajib)
mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan hukum ketenagakerjaan karena
peraturan yang ada kurang lengkap atau tidak sesuai lagi dengan keadaan
sekarang. Panitia ini tidak jarang melakukan interpretasi (penafsiran) hukum
atau bahkan melakukan rechtvinding (menemukan)
hukum. Mengingat bahwa Undang-undang Nomor 22 tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 tahun 1964
tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahan Swasta sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dalam rangka untuk memperolah keadilan dan kepastian hukum
maka dikeluarkanlah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang
menggantikan peraturan sebelumnya. Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan
Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam UU No. 2 Tahun 2004 dimungkinkan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui jalur yuridis (litigasi)
maupun jalur non yuridis (non litigasi) seperti perundingan bipartite,
arbitrase, kondisi, serta mediasi.
Perjanjian merupakan peristiwa dimana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lainnya untuk melaksanakan sesuatu hal, akibatnya pihak-pihak yang bersangkutan terikat oleh isi perjanjian yang mereka adakan. Kaitannya dengan masalah perburuhan, perjanjian yang merupakan sumber hukum perburuhan ialah perjanjian perburuhan dan perjanjian kerja. Prof. Imam Soepomo menegaskan, karena kadang-kadang perjanjian perburuhan mempunyai kekuatan hukum seperti undang-undang. (Imam Soepomo,1972-24)).
Traktat ialah perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih. Lazimnya perjanjian Internasional memuat peraturan-peraturan hukum yang mengikat secara umum. Sesuai dengan asas “pacta sunt servanda” maka masing-masing Negara sebagai rechtpersoon (publik) terikat oleh perjanjian yang dibuatnya.
Hingga
saat ini Indonesia belum pernah mengadakan perjanjian dengan Negara lain yang
berkaitan dengan perburuhan. (Setikno,1977:24). Meskipun demikian dalam hokum
internasional ada suatu pranata seperti traktat yaitu convention. Pada
hakikatnya convention ini merupakan rencana perjanjian internasional di bidang
perburuhan yang ditetapkan oleh Konperensi Internasional ILO (International Labour Organisation) (Sutikno,1977:10).
Meskipun Indonesia sebagai
anggota ILO tetapi tidak secara otomatis terikat. Supaya Convention mengikat
maka harus dirafikasi terlabih dahulu.
Beberapa convention yang telah dirafikasi oleh Indonesia:
Beberapa convention yang telah dirafikasi oleh Indonesia:
a. Convenion No. 98 tentang berlakunya dasar-dasar hak untuk berorganisasi
dan untuk berunding yakni dalam UU No. 18 Tahun 1956
b. Convention No. 100 tentang pengupahan yang sama bagi buruh laki-laki dan
perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya, yakni dalam UU No. 80 Tahun 1957
c. Convention No. 120 tentang higyene dalam perniagaan dan kantor-kantor
yakni dalam UU No. 3 Tahun 1969
Subjek dan Objek Hukum Perburuhan
Sebagai Subjek hukum perburuhan adalah buruh,
majikan dan organisasi perburuhan. Berdasarkan Undang-undang No
13/2003 tentang ketenagakerjaan yang dimaksud dengan pekerja/buruh. Majikan
adalah seorang pengusaha dalam hubungannya dengan pengusaha dalam hubungannya
dengan buruh, dalam hal tertentu kata pengusaha berarti majikan.
Organisasi
Buruh adalah alat utama bagi buruh untuk melindungi dan memperjuangkan
kedudukannya dalam perbaikan nasib. Pentingnya organisasi buruh sesuai dengan
undang-undang Dasar Sementara 1950 Pasal 29 yang menyatakan bahwa setiap orang
berhak mendirikan serikat dan masuk ke dalamnya untuk melindungi danm
memperjuangkan kepentingannya. Pendaftaran organisasi buruh diatur dalam
peraturan Mentri Perburuhan No.90/1955 tentang Pendaftaran Serikat Buruh,
sekarang dengan Peraturan Mentri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kooperasi
No.Per 01/Men/1975.
Objek Hukum Perburuhan
Pada
hakikatnya yang menjadi Objek Hukum Perburuhan berkaitan dengan:
1. Terpenuhinya pelaksanaan
sanksi hukuman baik yang bersifat administrative maupun bersifat pidana sebagai
akibat dilanggarnya suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
2. Terpenuhinya ganti rugi bagi banyak pihak yang dirugikan sebagai akibat
wanprestasi yang dilakukan oleh pihak lainnya terhadap perjanjian yang telah
mereka sepakati.
No comments:
Post a Comment