Saturday, 25 January 2014

REMUNERASI - BAGIAN 2


Untuk lebih menguatkan pemahaman tentang Remunerasi, ada baiknya baca artikel berikut ini

Definisi
Dewasa ini, istilah remunerasi sering diperbincangkan oleh kalangan pekerja, baik diinstasi swasta maupun pemerintah. Remunerasi itu sendiri berkaitan erat dengan kesejahteraan karyawan dalam suatu perusahaan. Kemudian, untuk memperjelas pengertian remunerasi, beberapa ahli memiliki sudut pandang masing– masing untuk menjelaskan hal tersebut.

Mochammad Surya ( 2004:8) menyebutkan bahwa “ Remunerasi mempunyai pengertian berupa “sesuatu” yang diterima pegawai sebagai imbalan dari kontribusi yang telah diberikannya kepada organisasi tempat bekerja. Remunerasi mempunyai makna lebih luas daripada gaji, karena mencakup semua imbalan, baik yang berbentuk uang maupun barang, baik yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung, dan baik yang bersifat rutIn maupun tidak rutin, imbalan langsung terdiri dari gaji/upah, tunjangan jabatan,tunjangan khusus, bonus yang dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan prestasi dan berbagai jenis bantuan terdiri dari fasilitas, kesehatan, dana pensiun, gaji, cuti, santunan musibah.”

Selain Mochammad Surya, Kusnaedi mendefinisikan remunerasi sebagai imbalan atau balas jasa yang diberikan perusahaan kepada tenaga kerja sebagai akibat dari prestasi yang telah diberikannya dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa remunerasi merupakan rewards atau imbalan dari perusahaan kepada karyawan atas usaha dan kinerjanya baik dalam bentuk financial ataupun non-financial yang tujuannya untuk mensejahterakan karyawan tersebut. 


Sistem Remunerasi itu sendiri akan berbeda–beda dalam setiap perusahaan,tergantung dari bagaimana sistem kerja yang dipakai dalam perusahaan tersebut.  Kemudian, besarnya tingkat remunerasi untuk masing-masing perusahaan itu sendiri berbeda. Perbedaan itu terjadi berdasarkan beberapa faktor yang sangat mempengaruhi besarnya tingkat remunerasi tesebut, faktor–faktor tersebut antara lain permintaan dan penawaran tenaga kerja, kemampuan perusahaan, kemampuan dan keterampilan tenaga kerja, peranan perusahaan, serikat buruh, besar kecilnya resiko pekerjaan, campur tangan pemerintah, dan biaya hidup

REMUNERASI

PEMAHAMAN SISTEM REMUNERASI 

BAGIAN 1

I.PENGERTIAN

Remunerasi adalah suatu sistem pengupahan yang mengatur gaji, insentif dan merit/bonus karyawan pada suatu perusahaan..Remunerasi merupakan salah satu unsur yang penting untuk diketahui oleh para manajer dan pengurus serikat pekerja karena menyangkut kesejahteraan seluruh karyawan.
Seringkali ketidakseimbangan gaji atau insentif antara kelompok Manajer, Supervisor, tenaga operator, tenaga administrasi dan lain – lain menimbulkan terjadinya konflik yang berkepanjangan dan menyebabkan menurunnya komitmen karyawan terhadap organisasi ( Perusahaan ). Karenanya perlu pemahaman bagaimana system remunerasi dapat dikembangkan dan disesuaikan berdasarkan kesepakatan melalui beberapa pendekatan yang lebih fleksibel.

II.TUJUAN
1.Membangun image yag baik dari organisasi ( Building good image )
2.Menjamin kesejahteraan karyawan ( Wellfare )
3.Memberikan motivasi terhadap kinerja karyawan ( Motivations)
4.Mempertahankan keberadaan karyawan dalam organisasi ( Retaining personil )

III.PRINSIP DASAR REMUNERASI
Dalam penentuan remunerasi ini kita menggunakan 3 prinsip dasar agar terdapat solusi yang tepat dan mencapai tujuan yang diinginkan, antara lain :.Kebersamaan, Keterbukaan, dan keadilan, dalam pelaksanaannya system pembagian remunerasiini harus adil dan wajar sesuai dengan penampilan kerja masing-masing karyawan.



Wednesday, 15 January 2014

Apakah Pekerja Bisa Di-PHK Jika Ikut Mogok Kerja?

Jika karyawan yang mogok kerja akan dikenakan PHK oleh pengusaha, apakah ada pasal mengenai PHK jika mengikuti mogok kerja?

Jawaban:
LETEZIA TOBING, S.H.

Perlu Anda ketahui bahwa mogok kerja sebenarnya adalah hak dasar dari pekerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 137 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Sebagai suatu hak dasar, ada ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dalam melakukan mogok kerja. Hal-hal yang harus dipenuhi dalam melakukan mogok kerja dapat dilihat dalam Pasal 139 dan Pasal 140 UU Ketenagakerjaan:

Pasal 139 UU Ketenagakerjaan:
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.

Pasal 140 UU Ketenagakerjaan:

(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh      dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi           yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
      a.    waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
      b.    tempat mogok kerja;
      c.    alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
      d.   tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris
            serikat pekerja / serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.

(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota
      serikat pekerja  / serikat buruh,   maka  pemberitahuan  sebagaimana  dimaksud
      dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai
      koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.

(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
     demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil
      tindakan sementara dengan cara:
          a.    melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan
                proses produksi; atau
          b.   bila dianggap  perlu  melarang pekerja / buruh yang mogok kerja berada
               di lokasi perusahaan.

Berdasarkan Pasal 142 UU Ketenagakerjaan, jika mogok kerja yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 139 dan Pasal 140 UU Ketenagakerjaan, maka mogok kerja tersebut tidak sah. Selain itu, Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-232/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah (“Kepmenaker 232/2003”) juga menjelaskan mengenai mogok kerja seperti apa yang dikatakan tidak sah. Berdasarkan Pasal 3 Kepmenaker 232/2003, mogok kerja tidak sah apabila dilakukan:

a.  bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau
b.  tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab
     di bidang ketenagakerjaan; dan/atau
c.  dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan mogok
     kerja; dan/atau
d. isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c,
    dan d UU  Ketenagakerjaan.

Akibat dari mogok kerja yang tidak sah diatur dalam Pasal 6 Kepmenaker 232/2003, yaitu bahwa pekerja dikualifikasikan sebagai mangkir. Atas hal ini, pengusaha melakukan pemanggilan kepada pekerja yang melakukan mogok kerja untuk kembali bekerja. Pemanggilan tersebut dilakukan oleh pengusaha 2 (dua) kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis. Jika pekerja/buruh tidak memenuhi panggilan tersebut, maka dianggap mengundurkan diri.

Sedangkan, jika mogok kerja yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 139 dan Pasal 140 UU Ketenagakerjaan, maka mogok kerja tersebut sah. Atas mogok kerja yang telah sah tersebut, berdasarkan Pasal 144 UU Ketenagakerjaan, pengusaha dilarang:
a.  mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar
     perusahaan; atau
b.  memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja /
     buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan
     mogok kerja.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada pasal yang menyatakan bahwa pengusaha memiliki hak untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) kepada pekerja yang melakukan mogok kerja. Tetapi, perlu diketahui juga bahwa tidak ada pasal yang secara jelas mengatakan bahwa pengusaha tidak boleh melakukan PHK terhadap pekerja yang melakukan mogok kerja (lihat Pasal 153 UU Ketenagakerjaan mengenai hal-hal yang tidak boleh dijadikan alasan oleh pengusaha untuk melakukan PHK).

Akan tetapi, merujuk pada ketentuan dalam Pasal 6 Kepmenaker 232/2003, dapat kita lihat bahwa jika mogok kerja tersebut tidak sah, tanpa pengusaha perlu melakukan PHK, pekerja yang telah dipanggil sebanyak 2 (dua) kali untuk kembali bekerja tetapi tidak memenuhi panggilan tersebut, dianggap mengundurkan diri. Ini berarti bahwa pengusaha tidak secara langsung mempunyai hak untuk langsung melakukan PHK kepada pekerja tersebut, tetapi peraturan perundang-undangan memberikan perlindungan kepada pengusaha dengan memberikan ketentuan mengenai pengunduran diri tersebut.

Sedangkan, jika mogok kerja tersebut sah, kita dapat merujuk pada ketentuan Pasal 144 huruf b UU Ketenagakerjaan yang mengatakan bahwa pengusaha dilarang memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa jika PHK yang dilakukan oleh pengusaha merupakan wujud dari sanksi atau tindakan balasan bagi pekerja yang melakukan mogok kerja secara sah, maka hal tersebut tidak boleh dilakukan.

Jika pengusaha melanggar Pasal 144 UU Ketenagakerjaan, pengusaha dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp100 juta (Pasal 187 UU Ketenagakerjaan).

Jadi, pada dasarnya pengusaha tidak dapat melakukan PHK kepada pekerja yang melakukan mogok kerja.

Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:
1.  Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2.  Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
     No. KEP-232/MEN/2003  Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah.

diambil dari hukumonline.com

Saturday, 11 January 2014

MENGHITUNG PESANGON

Berikut artikel tentang menghitung pesangon, perhitungan ini baru berdasar UU 13 tahun 2003 namun bila di tempat anda memiliki peraturan pesangon yang lebih baik, untuk artikel ini di abaikan saja, tetapi kalau belum ada semoga artikel ini bisa menjadi referensi apabila ada karyawan di tempat anda  yang mengalami pemutusan hubungan kerja.
 
Semoga bermanfaat